🥈 Jadzab Menurut Al Hikam
Pengajianrutin kitab Al Hikam oleh KH IMRON JAMIL MASYHURI dalam format mp3,bagi yang ingin mendapatkan video aslinya kunjungi channel YouTube Kyai Mojo Off
Setiapyang memabukkan itu haram dalam berbagai macamnya. Referensi: Jaami' Al-'Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba'in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh 'Abdul Muhsin bin Muhammad Al
Selainitu seorang pengikut Thariqah Syadhiliyyah apabila mengalami Jadzab (Menjadi Majdub) maka cepat sembuh / sadar dalam proses tenggelamnya pada maqam fana'. Adapun cara berdzikir dalam Thariqah Syadhiliyyah itu sangat mudah untuk dilakukan, diantaranya: Membaca Surah Al Fatihah, Takbir, Membaca Shalawat Syadhiliyyah, dan terakhir
Jadzabadalah suatu istilah dalam dunia tasawuf yang berarti suatu keadaan di luar kesadaran. Kaum sufi mengatakan bahwa jadzab adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar mampu untuk menyingkap dan melihat dengan nyata sifat sifat Allah SWT dalam alam sadar dan mampu untuk merasakan hal tersebut. Menurut mayoritas kaum sufi, Jadzab di
Sudahsyuhud kepada Alloh ini umumnya dialami oleh mereka yang sedang dalam keadaan "jadzab" orang jadzab yaitu orang yang hatinya senantiasa penuh ingat kepada Alloh. Acara dengan makhluk boleh dikatakan tidak ada. jadzab - al hikam oleh muallif sholawat wahidiyah; yg didalam hati - al hikam oleh muallif sholawat w tanda kebahagiaan
Tapisecara sufistik istilah jadzab memiliki makna yang khusus. Seingat saya Syaikh Ibn 'Athaillah al-Sakandari, dalam salah satu kitabnya yang berisi 100 lebih aforisme, menyatakan bahwa ada dua macam sufi: salikin dan majdzubin.Yang pertama, merupakan tipe sufi yang mesti melewati jenjang ihwal dan maqamat secara sistematis. Umumnya mereka memerlukan mujahadah yang lama dan ketat.
PengantarKajian Al-Hikam. Kitab Al-Hikam adalah buah karya Syekh Ibnu Atha'illah, mursyid ketiga dari Thariqah Syadziliyah. Adapun pendiri pertama Syadziliyah adalah Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, seorang Maroko yang kemudian menetap di Iskandariah, Mesir dan wafat pada 1258 M. Penggantinya adalah Syekh Abu Abbas Al-Mursi, yang berasal dari Murcia, Andalusia, Spanyol (wafat di tahun 1287 M
Kedua segi syariat dan ketiga segi politik. "Hal ini menjadi persoalan yang penting agar kita memahami batasan syariat yang sesungguhnya, mengenai bagaimana mencari, mengemban, dan menggunakan jabatan," kata KH A Hasyim Muzadi dalam pengajian kitab Al-Hikam, Ahad (4/5) pagi di Masjid Al-Ghazali Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, Jawa Timur.
Terjemahkitab Al-Hikam oleh Ustadz Bahreisy menambah penjelasan perkataan Syekh Atha'illah. Ia menerangkan, ingatlah selalu sifat-sifat Allah, yaitu Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Kuat, Maha Tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan sifat-sifat seorang hamba atau kehambaan adalah miskin, bodoh, lemah, hina, dan tidak berdaya.
FBt6nn. Jadhb berarti daya tarik. Si majdhoub ialah penjelmaan daya tarik Ilahiah. Istilah ini umum dipakai di tariqat Darqawi dan seringkali digunakan dengan terlalu mudah. Si faqir harus takut kepada kekuatan Allah dan daya tarik-Nya. Seseorang itu tertarik kepadanya, namun dicegah karena khawatirnya Rasulullah atas kesintingan. Padahal sebenarnya akal-lah sarana yang diperlukan untuk makrifat. Oleh karena itu, Wali dari Bahlil mengingatkan bahwa adab kepada si majdhoub sampaikan, “As-salamualaikum – lalu tinggalkan dia!” Seseorang yang berkumpul dengan si majdhoub akan menjadi majdhoub atau pelayan si majdhoub, karena begitu besarnya kekuatan mereka. Adapun akal mereka tidak berada pada tempatnya, karena tentunya ada di mana-mana. Namun, pertemuan singkat dengan para majdhoub besar sangat bermanfaat dan akan mendorong si pencari menuju tujuannya. Ada majdhoub yang salik/majdhoub, menaati syari’at dan memelihara batas-batas sambil menyelam ke kedalaman lautan Ilahi, tetapi mereka ini sangat jarang. Berhati-hatilah terhadap cerita-cerita tentang majdhoub, seraya tidak berkeinginan kepada jadhb dengan ilmu. Jalan Junaydi kita adalah sadar lahiriah dan mabuk batiniah. Shaykh al-Fayturi berkata kepada kami, “Adakah jadhb yang lebih besar daripada pergi melintasi dunia untuk berkhalwa di bawahku. Karena jadhb-mu membawamu kepada makrifat, penyaksian dan wilayat. Itulah jadhb yang harus dimiliki. Gairah berkobar kepada si penuang anggur.” Shaykh Ibn al-Habib berkata, “Banyak yang disebut-sebut sebagai majdhoub, namun majdhoub yang asli ialah dia yang shalat dzuhur di Masjid Agung di Meknes, shalat ashar di Makkah depan Ka’bah, dan kembali berada di Meknes untuk shalat maghrib!” Sumber 100 Langkah
Meyakini adanya manusia pilihan yang menjadi kekasih Allah adalah salah satu ajaran dalam agama Islam. Kekasih Allah atau yang biasa dikenal dengan waliyullah adalah orang-orang terpilih yang memiliki kedekatan secara khusus dengan Allah subhanahu wata’ala. Mengenai waliyullah ini, Al-Qur’an menjelaskan أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” QS. Yunus 62. Waliyullah secara umum terdiri dari berbagai macam kategori. Mulai dari wali abdal, wali autad, wali nuqaba’, wali nujaba’, sampai wali qutb al-aqthab. Para waliyullah ini mengemban berbagai macam tugas masing-masing serta diberi keistimewaan oleh Allah dengan memiliki karamah yang berbeda-beda Syekh Dliya’uddin Ahmad bin Mushthafa, Jami’ al-Ushul fi al-Auliya, hal. 168. Jalan yang ditempuh mereka tak lain adalah menggapai marifatullah. Dalam ilmu tasawwuf, terdapat dua jalan untuk menggapai makrifat ini. Pertama, suluk. Jalan ini adalah pilihan jalan yang ditempuh secara normal. Seseorang yang mengamalkan laku tasawuf secara tidak langsung juga disebut sebagai salik. Kedua, jadzab. Jalan ini adalah jalan khusus yang tidak sembarang orang bisa mengamalkan, hanya orang-orang khusus yang memang terpilih yang dapat menempuh jalan ini. Dua jalan menuju marifatullah di atas, secara sederhana diilustrasikan dalam kitab Nasihah al-Murid fi Thariq ahli as-Suluk wa at-Tajrid berikut اعلم أن الجذب والسلوك مثلهما كالأشجار، شجرة الجذب لها عروق وفروع، وكذلك شجرة السلوك لها عروق وفروع وكلّ عرق وفرع منهما له أثمار. عروق الجذب هي العلوم اللدنية الغيبية، وأثمار فروع الجذب هي أن يكون صاحبها بأمر الله تعالى يقول للشيء كن فيكون والكلّ مواهب وكذلك عروق شجر السلوك تثمر بالعلم الظاهر، وفروعه تثمر بالعمل الظاهري، وإن تفاوت أهل السلوك مع أهل الجذب إلّا أنَّ أهل السلوك عبادتهم من وراء حجاب، وأهل الجذب ما بينهم وبين الله حجاب منه إليهم، ومنهم إليه “Ketahuilah bahwa jadzab dan suluk itu seperti pepohonan. Pohon jadzab memiliki akar dan tangkai, begitu pula pohon suluk juga memiliki akar dan tangkai. Setiap akar dan tangkai dari kedua pohon tersebut memiliki buah. Akar dari pohon jadzab adalah ilmu laduni yang bersifat ghaib, dan buah dari tangkai pohon jadzab adalah saat orang yang jadzab mendapat perintah Allah agar mengatakan pada sesuatu kun fa yakun, segalanya murni pemberian dari Allah. Sedangkan akar dari pohon suluk dapat membuat pohon berbuah dengan Ilmu yang dzahir tampak dan tangkainya berbuah dengan amal yang bersifat dzahir, meski orang yang mengamalkan laku suluk dan orang jadzab berbeda, orang yang mengamalkan laku suluk beribadah di belakang tirai penghalang dari Allah, sedangkan orang jadzab tidak ada di antara mereka dan Allah penghalang apa pun. Pesan dari Allah langsung pada mereka, dan ibadah dari mereka langsung tertuju pada Allah” Syekh Ali bin Abdurrahman bin Muhammad al-Imrani, Nasihah al-Murid fi Thariq ahli as-Suluk wa at-Tajrid, Hal. 17 Berdasarkan referensi di atas, orang yang mengamalkan laku suluk masih berada di bawah orang yang sudah sampai pada fase jadzab. Jadzab sendiri oleh para ulama didefinisikan dengan pengertian berikut الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد “Jadzab adalah tampaknya sifat-sifat ilahi. Ketika dalam kondisi jadzab, akan betul-betul tampak secara nyata sifat-sifat Allah dan seseorang mampu merasakannya” Syekh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim, al-Kasyf an Haqiqah as-Shufiyyah, juz 1, hal. 244 Orang yang dalam kondisi jadzab seringkali melakukan perbuatan di luar nalar manusia biasa. Sebab apa yang dilakukan oleh mereka dalam keadaan jadzab sudah di luar kapasitasnya sebagai manusia. Meski demikian, patut dibedakan antara orang yang melakukan hal-hal aneh khâriq al-âdah karena memang betul-betul jadzab dengan orang yang hanya pura-pura jadzab. Untuk menandai perbedaan dua orang ini cukup sederhana, yakni dengan cara melihat tingkah laku orang tersebut setelah kondisi terjaga. Jika saat kondisi normal, ia senantiasa berdzikir dan beribadah serta menjauhi hal-hal duniawi yang bersifat profan, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan adalah berangkat dari maqam jadzab. Sebaliknya, jika seseorang setelah dalam kondisi normal justru lebih mendekatkan diri pada hal-hal yang bersifat duniawi dan senang mendekat dengan orang-orang yang memiliki ambisi duniawi, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan bukanlah bermula dari keadaan jadzab, tapi hanya sebatas tipu daya yang dilakukannya untuk menarik perhatian orang lain. Perbedaan dua karakteristik ini seperti yang digambarkan dalam pembahasan menari saat berdzikir yang dijelaskan dalam kitab Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa alaihi al-Bukhari wa Muslim واعلم أن الرقص فى حال الذكر ليس من الشرع ولا من المروءة ولم يعذر فيه الّا الفرد النادر من أهل الأحوال والجذب وله عند القوم علامة يميزون بها بين ما كان منه عن جذب حقيقي وبين ما كان عن تلاعب وتلبيس على الناس فقد قالوا إنّ المجذوب إذا كان بعد الصحو يوجد معرضا عن الدنيا وأهلها مقبلا على ذكر الله وعبادته فهذا جذبه حقيقي ويعذر فى رقصه وإذا كان بعد الصحو من تجاذبه ورقصه يوجد مقبلا على الدنيا متأنسا بأهلها لا فرق بينه وبينهم فى الأحوال واللهو فهو متلاعب كاذب فى دعوى جذبه صاحب رقص ولعب فهو ممن اتّخذ دينه هزوا ولعبا “Ketahuilah bahwa menari pada saat berdzikir bukan bagian dari ajaran syariat dan bukan bagian dari budi pekerti yang baik. Tindakan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk dibenarkan oleh siapa pun kecuali bagi orang khusus dari kalangan orang jadzab. Menurut sebagian kalangan ulama sufi jadzab memiliki tanda-tanda tertentu yang membedakan antara tindakan jadzab yang hakiki dan tindakan yang berangkat dari main-main dan tipu daya di hadapan manusia. Mereka berkata bahwa orang yang jadzab ketika setelah sadar ia berpaling dari dunia dan menghadap untuk berdzikir pada Allah dan beribadah kepada-Nya, maka sikap jadzabnya adalah sikap jadzab yang sungguhan, tindakannya menari saat berdzikir dianggap udzur. Sedangkan ketika setelah sadar dari jadzab dan selesai menari saat dzikir, seseorang lantas menghadap pada dunia dan merasa senang berjumpa dengan orang yang tergiur dengan dunia, hingga tidak ada perbedaan antara dirinya dan orang yang tergiur dengan dunia dalam perbuatan dan sikap main-mainnya, maka ia adalah orang yang main-main dan bohong atas klaim kejadzabannya saat menari dan bersenda gurau, ia adalah bagian dari orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau” Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi, Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa alaihi al-Bukhari wa Muslim, juz 3, hal. 155 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jadzab adalah sebuah keadaan saat seseorang sudah lepas dalam kapasitasnya sebagai manusia karena tampak secara jelas padanya sifat-sifat Allah tajalli, segala keanehan perbuatan yang dilakukan dalam kondisi jadzab bermula dari petunjuk Allah. Orang yang sudah sampai pada maqam jadzab ini biasa dikenal dengan sebutan majdzub. Sedangkan masyarakat mengenal orang yang sudah sampai pada maqam ini dengan sebutan wali jadzab atau wali majdzub. Wallahu a’lam. Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Makalah Hikmah ke-2 Kitab Al-Hikam. - Terjamah dan penjelasan Kitab Al-Hikam Syaikh Ibnu Atha'illah As-Sakandary yang ke-2, berbunyiإرادَتـُكَ التَجْرِيْدَ معَ اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى الاَسْبَابِ مِنَ الشَهْوةِ الخفِيَّةِ، وَإرادَتـُكَ الاَسْبَابِ معَ اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى التَجْرِيْدَ اِنْحطاط ٌ عن الهِمَّةِ العَليَّةِ Artinya "Keinginanmu untuk tajrid [hanya beribadah saja tanpa berusaha untuk dunia], padahal Allah masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha [kasab], maka keinginanmu itu termasuk nafsu syahwat yang samar [halus]. Sebaliknya, keinginanmu untuk berusaha [kasab], padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus beribadah tanpa kasab [berusaha], maka keinginan yang demikian berarti menurun dari semangat yang tinggi". Sebagai seorang yang beriman, haruslah kita berusaha menyempurnakan imannya dengan berpikir tentang ayat-ayat Allah Swt., dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah menghamba kepada Allah Swt., sesuai tuntunan Al-Qur’an. Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja kasab. Lalu, dia berkeinginan lepas dari kasab/ usaha dan hanya ingin melulu beribadah. Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar. Mengapa? Kewajiban seorang hamba adalah menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apalagi kalau majikan itu adalah Allah Yang Maha Mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dan tanda-tanda bahwa Allah Swt. menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain. Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha [Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban. Syeikh Ibnu Atha’illah berkata "Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas Al-Mursy. Aku merasa bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriyah dan bergaul dengan sesama manusia kasab agak jauh dan tidak mungkin. Tiba-tiba saja, sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu". Demikian penjelasan hikmah kedua Kitab Al-Hikam tentang maqam tajrid dan maqam kasab seorang hamba Allah. [
jadzab menurut al hikam